Thursday, March 18, 2010

Ketika Rifrif Harus Memilih

Rifrif harus memilih...ya...memilih.
Bukan sekedar memilih sekolah atau memilih pasangan hidup, tapi memilih sampai kapan selang-selang penopang kehidupan Ubiet putra semata wayangnya, akan dipertahankan hingga tiba waktunya untuk dicabut.

Ubiet adalah satu-satunya teman hidup Rifrif, tanpa Ubiet, Rifrif sebatang kara.

Tenggorokan saya tercekat saat mendengar Rifrif berkata..."hari Kamis minggu yang lalu saya seperti kembali ke tahun 2007"
yah...tahun 2007, 3 tahun yang lalu...tahun yang berat untuk Rifrif dan Ubiet, karena sahabat kami, Nora, mamanya Ubiet, mendadak dipanggil Sang Maha Pemilik.

"Doa saya tidak putus-putus saat itu, Susi, saya peluk Ubiet, dan rasanya seperti saya memeluk ibunya tiga tahun yang lalu." Air mata tergenang di mata saya...tentu saja saya ingat kejadian tiga tahun yang lalu, ketika di depan mata saya, Ubiet kecil mencium ibundanya untuk yang terakhir kalinya.

Permintaan Rifrif terasa lebih berat bagi Lulu yang datang bersama saya sore ini, Rifrif meminta Lulu memberikan pendapat medisnya tentang kondisi Ubiet. Saya turut menemani Lulu memeriksa Ubiet, tapi dengan berat hati, Lulu memberikan pandangan yang sama dengan apa yang disampaikan dokter yang merawat Ubiet kemarin malam.

"Pupilnya sudah melebar, sudah tidak ada respon cahaya, gula darahnya tinggi, menunjukkan fungsi pankreas sudah tidak ada, demikian juga dengan pembengkakan di sekujur tubuh Ubiet, juga tidak adanya keringat yang keluar, menunjukkan fungsi sekresi tubuhnya sudah tidak berfungsi. Jantungnya masih berdetak sepertinya akibat bantuan dopamine, nafasnya pun sudah tergantung alat bantu. Gue cuma bisa ngomong gini, selebihnya terserah apa kata hatimu." 

Kelihatannya blak-blakan sekali, tapi seperti itulah yang Lulu lihat sebagai dokter, juga sebagai sahabat, saya sih gak ngerti apa-apa, tapi sebagai sarjana biologi, sedikit-sedikit mengerti, bahwa gerakan kaki atau tangan Ubiet yang sedang koma, mungkin akibat gerak refleks otot bukan karena respon positif.

Rifrif hanya bisa termenung, sebelum akhirnya kembali memohon doa kepada kami...mohon diberi kekuatan untuk bisa memutuskan. Rifrif khawatir...saat dia memutuskan untuk menutup pintu, tahu-tahu Ubiet ingin pulang.

Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, ketika mendadak, di depan saya, muncul Nuli, seorang teman yang baru saja kehilangan putra sulungnya tahun lalu karena penyakit yang hampir mirip dengan sakitnya Ubiet. Bersyukur Nuli bisa melalui setahun yang berat ini, dengan kelahiran puteranya yang ketiga. Nuli yang akhirnya berbincang-bincang cukup lama dengan Rifrif. Nuli lebih tahu perasaan Rifrif, karena pernah ada di keadaan seperti itu, hanya dengan cara yang lebih cepat, hanya dalam hitungan jam di UGD.

Tiba saat berpamitan, karena anak-anak kami sudah rewel di ruang tunggu. Sebelum pulang, kami sampaikan kadeudeuh, tanda cinta kasih kami, teman-teman SMP ibundanya Ubiet. Bersyukur, amplop cinta kasih kami tidak ditolaknya, meski untuk menerimanya, tampak sulit bagi Rifrif, sampai-sampai Lulu harus menjejalkan amplop itu ke pangkuannya.

Rifrif masih sempat-sempatnya memohon, kalau bisa, isi amplop ini diganti saja dengan kehidupan Ubiet...ah...Rifrif....tentu saja, kalau kami bisa, kami ganti dengan seribu kehidupan Ubiet

Ada sebersit rasa bahagia di hati kami...ternyata Rifrif sudah menemukan mama baru untuk Ubiet. Seharusnya, hari Sabtu lalu, Ubiet sudah punya mama baru, tapi karena Ubiet sakit, pernikahan ini tertunda sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Paling tidak...saya ikut bahagia, Rifrif tidak akan sebatang kara, jika keputusan sudah diambil.

Sebelum pulang, Rifrif masih berpesan, tolong doanya....Al Fatihah....mohon dibantu untuk dapat membuat keputusan yang terbaik.

Tentu saja Rif....kami berdoa untukmu, untuk Ubiet, untuk Nora juga. Updatenya Ubiet bisa dilihat di sini