Anda penikmat kopi?Saya bukan , tapi tergelitik untuk mengunjungi pabrik kopi Aroma. Bayangkan, sejak lahir tinggal di Bandung, sering lalu lalang di depan pabriknya, tetapi tidak tahu sejarahnya yang sudah sedemikian melegenda.
Bangunan bergaya art deco ini bisa langsung dikenali karena belum tertutup oleh parkiran mobil dan pedagang kaki lima onderdil mobil yang biasa memenuhi pinggir jalan Banceuy di siang hari. Pukul 7.30 pagi, meskipun toko belum resmi dibuka (resminya buka jam 8 pagi), kami langsung disambut oleh semerbak aroma kopi begitu pintu dibuka oleh Bapak Widyapratama, generasi kedua pemilik kopi Aroma. Kami langsung "disuguhi " sejarah pabrik kopi ini saat saya berkomentar " Wah....wangi sekali!". Beliau tertawa dan berkata,"Ngerti kan kenapa dikasih merk Kopi Aroma? ya karena wanginya ini."
Pabrik kopi ini didirikan oleh mendiang ayahnya, Tan Houw Sian, yang dulunya bekerja di perkebunan kopi milik orang Belanda di awal 1900an, Setelah bertahun - tahun memiliki pengetahuan tentang kopi, maka tahun 1930an sang Ayah memutuskan untuk membuat pabrik kopi sendiri.
Pabrik kopi ini masih dijalankan dengan cara tradisional, bahkan etalase tokonya pun masih "kuno".
Di ruang penimbangan dan pengemasan kopi ini juga terdapat mesin cash register kuno yang dulu dipakai ayahnya, selain itu terdapat beberapa mesin penggiling kopi kuno.
Kami langsung digiring ke ruang belakang yang merupakan pabrik kopi. Di dinding atas, tersimpan 3 buah sepeda kumbang, sebagai lambang perjuangan sang Ayah dalam menjalankan usahanya.
keterangan foto: Tio ditumpukan karung kopi, sewaktu saya berkunjung kembali ke sini bulan Februari 2008 laluKopi yang berusia 8 tahun menjadi keras dan berwarna lebih gelap. Proses pemeraman ini berlangsung 8 tahun untuk kopi Arabika dan 5 tahun untuk kopi Robusta, karena kopi robusta kandungan asamnya tidak sebanyak kopi Arabica.
keterangan foto: Tio lagi ngaduk-ngaduk biji kopi arabica yang sudah diperam selama 8 tahun, menunggu sebelum dipanggang.
Usai diperam, kopi disangrai selama kurang lebih 2 jam dengan mesin yang terletak di depan gudang kopi.
Setelah dipanggang, biji kopi didinginkan lalu dipilah berdasarkan beratnya melalui sebuah mesin. Biji kopi yang berat itulah yang baik. " Yah, mesin ini seperti SPMB lah", canda Pak Widya, " Yang lolos adalah yang berkualitas bagus, bukan yang paling gede sumbangannya".
Setelah dipilah, barulah biji kopi siap untuk dijual baik dalam bentuk biji maupun bentuk bubuk. Kita bisa membeli kopi dalam kemasan 250 gr, 500 gr, dan 1 kg. Harga perkilo untuk Robusta Rp. 40.000 sedangkan Arabica Rp. 50.000 (gak tau ya, harga sekarang) Kopi baru digiling dan dikemas saat pembeli datang memesan.
Pak Widya juga bercerita tentang kehebatan kopi yang lain. Kopi Robusta terbukti dapat mengobati luka, memperlancar pencernaan, mencegah migrain, dan mencegah stroke pada orangtua. Sifat kopi yang asam seperti yang banyak diberitakan di media memang benar, jika biji kopi diolah dengan cara 'instant' dan kurang cermat. Khusus untuk mempelajari sifat kimia kopi ini, beliau pada tahun 1970an belajar ke Singapura, padahal latar belakang Pak Widya ini ilmu ekonomi lho (beliau adalah dosen luar biasa di Unpad dan Univesitas Widyatama). Dari ilmu kimia kopi yang telah dipelajarinya, beliau yakin bahwa fermentasi yang berlangsung 8 tahun benar - benar dapat menurunkan kadar kafein dan keasaman kopi, sehingga manfaat yang kita ambil akan semakin banyak. Inilah sebabnya, Pak Widya dan keluarganya tetap memproduksi kopi secara tradisional, karena proses fermentasi yang bertahun - tahun tidak memungkinkan untuk membuat produksi massal. Meskipun begitu, pembeli kopinya berdatangan tidak hanya orang Indonesia juga dari manca negara. Saat kami berdiri di balik gerainya, meskipun dari luar tampak sepi, tetapi pembeli kopi datang silih berganti.
Begitu deh, cerita tentang kopi Aroma....silakan kalo kapan-kapan ke Bandung mampir ke sini. Kalo pengen masuk lihat-lihat, tanya aja, apakah Pak Widya ada, kalo ada, pasti akan diantar lihat-lihat keliling pabrik...ngopi yuuuukkk